
Berkat keahliannya mengembangkan seni potong kertas Cutteristic, nama Dewi Kucu masuk dalam komunitas 50 seniman kertas dunia. Apa yang istimewa dari karyanya tersebut?
Memiliki banyak keahlian, tak lantas membuat Dewi Kucu mendalami salah satu bidang yang sudah umum di masyarakat. Buktinya, meski memiliki pendidikan sarjana arsitek, fotografer, desain grafis, dan digital marketing, ia justru memilih profesi yang masi sangat asing di Indonesia. Ia lebih tertarik menjadi seorang paper artist yang menguasai Cutteristic atau seni potong kertas.
Saking asingnya, bahkan Dewi sendiri yang memberikan nama Cutteristic, Dewi menyebut cutteristic diambil dari 2 kata, cutter dan characteristic. Namun ia mengaku sebenarnya seni tersebut berasal dari Cina pada abad ke 6 Masehi.
“Saat itu seni Cutteristic biasa digunakan untuk dekorasi interior, dipajang di dinding, pintu dan jendela. Selama bertahun-tahun seni potong kertas berkembang menjadi seni dekorasi bernilai tinggi karena keunikan dan kerumitan pembuatannya,” terang Dewi kepada Nyata, Kamis (23/7)
Meski diadopsi dari Cina, namun Dewi mengaku kegiatannya ini berbeda. Salah satu yang paling mendasar adalah alat pemotong. Jika di Cina biasa menggunakan gunting kecil dan kertas roti tipis, namun Dewi lebih memilih cutter agar bisa menjangkau area yang paling kecil. Inilah mengapa Dewi memilih nama Cutteristic.
“Saya yang pertama menggunakan cutter di Indonesia. Nggak tahu di dunia,” sarjana Teknik Arsitektur Tarumanagara Jakarta ini berujar.
Dewi menemukan seni potong kertas ini secara tidak disengaja. Awalnya ia hanya mengembangkan keahlian itu saat membuat maket bangunan untuk tugas kuliahnya dulu. Dari sini ia merasa ketagihan untuk mempelajari dan mengembangkannya.
Setelah bekerja di sebuah perusahaan interior besar, hasrat Dewi untuk membuat seni potong kertas berlanjut. Kertas-kertas bekas katalog di kantor dimanfaatkan untuk membuat Cutteristic di waktu senggang saat berada di rumah.
“Dengan kertas bekas katalog, ternyata hasilnya jauh lebih rapi dan cepat daripada menggunakan gunting di karya pertama. Selanjutnya saya mulai memakai paper cutting yang lebih detail,” ujarnya.
Hobi unik Dewi ini sebenenarnya sudah terlihat sejak kecil. Saat itu ia sudah menyukai bidang ketrampilan. Ketika tren daur ulang marak, Dewi rajin mengumpulkan kardus bekas, tali rami, dan bahan-bahan kerajinan lain. Dari benda-benda itu, ia menyulapnya menjadi berbagai barang yang berguna, seperti tempat tisu, tempat cotton bud, dan gelang.
Tapi menjadikan karya cutteristic sebagai lahan bisnis baru dilakukan Dewi sejak 4 tahun lalu. Saat itu Dewi kerap memberikan kado untuk keponakannya yang berulang tahun atau temannya menikah berupa karya Cutteristic. Di luar dugaan banyak yang tertarik dengan hasil kerajinan tangannya itu. “Mulai saat itu banyak yang memesan ke saya,” ungkapnya.
Pilih Resign
Sadar karyanya cukup menyita perhatian, Dewi mulai rajin mengikuti pameran dan bazaar. Gadis kelahiran Jakarta 30 tahun lalu itu juga memasarkan karyanya di media sosial dan internet.
Setelah itu pesanan yang diterimanya semakin banyak. Dewi pun memutuskan untuk mundur dari perusahaan distributor buah tempatnya bekerja. “Saya memutuskan resign untuk bekerja full time sebagai seniman kertas. Saya ingin fokus mengembangkan seni paper cutting di Indonesia agar lebih dikenal,” alasannya.

Menpan Yuddy Chrisnandi

Souvenir Pembicara
Kini Dewi mengaku bisa menikmati hasil dari keahliannya tersebut. Dalam sebulan, rata-rata ia mampu menghasilkan 20 karya Cutteristic. Terkadang ia juga menerima pesanan untuk souvenir uang jumlahnya mencapai ratusan. Jika dihitung, ia bisa meraup Rp 30 juta sampai 40 juta dalam sebulan. “Selama 4 tahun berkarya, lebih dari 2500 Cutteristic saya hasilkan, terdiri dari kado perpisahan/farewell, ucapan terima kasih, kado ulang tahun, kado pernikahan dan souvenir perusahaan,” bebernya.
Setiap karya yang dibuatnya, Dewi rata-rata membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 60 jam. Nilainya pun cukup tinggi. Dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. “Harganya berdasarkan ukuran. Paling kecil ukuran 28×28 cm harganya Rp 937 ribu. Yang besar 120×100 cm Rp 8 jutaan,” imbuhnya.
Dewi menganggap hasil karyanya setara dengan lukisan . Karena itu sampai saat ini ia jarang memproduksi secara massal. Ia membatasi hanya 1 atau 2 karya setiap desainnya, karena semuanya dikerjakan tangan. Barulah bila ada pesanan dalam jumlah besar, ia terpaksa menggunakan mesin.
Pola Tradisional
Yang istimewa, dalam setiap karyanya Dewi kerap menyelipkan unsur budaya Indonesia. Keindahan motif batik kerap menjadi sumber inspirasinya. “Saya senang dan bangga memakai pola batik. Kalau selama ini seniman memanfaatkan pola tradisional Indonesia dalam media kain, ukiran kayu atau batu, saya mengeksploitasinya ke media baru, yaitu kertas terpotong,” ujarnya sambil tersenyum.
Hasilnya, karya Dewi banyak mendapat apresiasi. Pesanan khusus daru para pejabat pun mengalir. Dewi menyebut nama mantan Presiden SBY, Kasal TNI AL Marsetio, Menteri Yuddy Chrisnandi dan eks Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah adalah beberapa pejabat yang pernah mendapatkan karya Cutteristic secara khsus.
Dari ribuan karya yang pernah dihasilkannya, Dewi menyebut lukisan Last Supper karya Leonardo da Vinci berukuran 100×50 cm sebagai yang paling istimewa, “Lukisan Last Supper itu memiliki kerumitan tinggi karena sangat banyak potongannya. Saya membutuhkan waktu tiga bulan untuk menyelesaikannya,” katanya.
Tak hanya penghasilan yang menjanjikan, keahlian Dewi dalam seni potong kertas ternyata cukup diakui dunia. Ia terpilih menjadi salah satu dari 50 komunitas seniman kertas dunia dari 22 negara.
Dalam menghasilkan karya cutting art, Dewi memang hanya menggunakan cutter biasa yang banyak dijual di pasaran dan kertas art paper. Hanya saja ia mencari cutter yang memiliki bantalan di area telunjuk. “Karena tekanan di area itu cukup tinggi dan saya harus berjam-jam menggunakan cutter itu,” alasannya.
Dewi rupanya tak ingin sendirian menguasai keahlian uniknya itu. Ia berencana memasyarakatkan cutteristic di Indonesia. Berbagai tutorial dalam membuat Cutteristic disebarkan melalui internet dalam bahasa Indonesia maupun Inggris secara gratis. Ia juga menyediakan bahan-bahan, alat dan pola pendukungnya.
Tak hanya itu, Dewi juga rajin membuka kelas untuk mempelajari Cutteristic ke berbagai daerah seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya.
“Tanggal 7 agustus nanti saya ada di Surabaya di Universitas Petra,” ungkapnya. Noe/Fur
Terima kasih Mas Yanu atas liputannya 🙂