
Pernah membayangkan memasuki sebuah istana yang terbuat dari kertas? Nah, kali ini, Jawa Pos mengajak Anda bertualang di istana kertas yang nyata. Yakni, tempat pernikahan Dewi Kocu dan Jeffry Intan pada Jumat (17/8). Pernikahan mereka bahkan tercatat dalam rekor Muri.
DIMAS NUR APRIYANTO – Jawa Pos, 20 Agustus 2018, hal. 21
SALAH satu ruangan di Kembang Goela, Jakarta Pusat, menjadi saksi ikatan cinta nan suci dua anak manusia. Dewi Kocu dan Jeffry Intan mengikat cinta kepada Tuhan. Mereka berjanji seumur hidup mengarungi bahtera rumah tangga. Di balik kisah itu, ada sesuatu yang menarik perhatian para undangan. Suasana ruang pernikahan Dewi dan Jeffry sangat tidak biasa. Tidak ada hiasan wedding mainstream dari styrofoam. Semuanya menggunakan kertas. Mulai undangan untuk para tamu, hiasan welcome on board, hiasan dinding, hingga dress dengan bentuk lance dress warna peach.
UNIK: Dewi Kocu (tiga dari kiri) menerima penghargaan rekor Muri dari Jaya Suprana sebagai dekorasi pesta pernikahan dan penggunaan kertas terbanyak. Konsep tersebut dirancang Dewi pada pesta pernikahannya.
Saat pintu ruang utama dibuka, beberapa tamu tampak bercengkerama dengan intim. Hiasan welcome on board yang berbentuk pegangan erat tangan Jeffry dengan Dewi terpampang. Tubuh Dewi seolah diangkat Jeffry. Memasuki ruangan tempat dua mempelai berdiri, Anda akan takjub. Decak kagum bakal menyeruak begitu kencang. Bagaimana tidak, karpet dengan bentuk transparan terbentang mengarah ke stage Dewi dan Jeffry. Di belakang keduanya, terpasang hiasan pengganti kuade. Yakni, kastil. Dengan tinggi sekitar 6,7 meter dan lebar 6 meter, kastil dari kertas itu berdiri megah. Hiasan tersebut dilindungi plastik dan ditempelkan di kain hitam.
Para undangan benar-benar merasa seperti di istana kertas. Kreativitas itu tak cukup sampai di situ. Dewi menggebrak ruang hati para undangan dengan hiasan batik motif wahyu tumurun dan sidomukti. Hiasan batik tersebut berbentuk segi empat. Ukuran panjangnya sekitar 150 cm dan lebar sekitar 150 cm. Nah, ada dua hiasan seperti itu di tempat yang menjadi momen bahagia dua insan tersebut. Di samping hiasan batik, berjajar foto pre wedding keduanya. ’’Ini semua aku buat sejak Januari setelah Mas Jeffry ngelamar pada Desember 2017,’’ ujar Dewi. Selama delapan bulan, Dewi menyiapkan semua kelengkapan pernikahannya. Dia dibantu tujuh orang.
Meski dibantu tujuh orang, beberapa bagian tetap dikerjakan Dewi seorang diri. Mulai mencetak desain dari komputer, memotong kertas, hingga menjadi bentuk yang diinginkan. Keputusan Dewi bukan tanpa alasan. Dia mahir alias jago untuk urusan paper cutting. Dunia paper cutting digelutinya sejak 2011.
Tujuh tahun silam, dia menjalani pekerjaan sebagai pegawai kantor dan memutar roda paper cutting dengan kencang. ’’Sejak TK, bakat seni muncul. Suka bikin origami. Pelajaran keterampilan nilaiku paling tinggi,’’ ungkapnya mengenang. Perjalanan sebagai pegawai kantoran berakhir pada 2014. Dewi meninggalkan pekerjaan di salah satu perusahaan swasta. Dia memilih full time dalam bidang paper cutting. Perempuan berusia 33 tahun itu menyadari bahwa paper cutting adalah bagian jiwanya. Hal tersebut membuatnya meninggalkan dunia professional di perusahaan swasta. Dia tak mempersoalkan meski telah lama mengukir karir di dunia kantoran. Jabatan di kursi enak rela ditinggalkan.
’’Itu perusahaan swasta di bidang digital marketing, desain, dan fotografi,’’ ungkap perempuan kelahiran 1985 itu. Dia keluar dari tempat kerja seiring kesibukannya di dunia paper cutting yang dikelolanya sendiri. Jujur, dia tak mampu membagi waktu dan pikiran di dua pekerjaan, yakni paper cutting dan kantoran. Saat masih bekerja kantoran, Dewi selalu memanfaatkan cuti tahunan perusahaan untuk mengurus dunia paper cutting miliknya. Repotnya, belum pertengahan tahun, tepatnya pada Februari, cuti tahunan Dewi menipis. ’’Pada Februari, cuti aku tinggal 4 dari 12 hari dalam setahun. Januari aku cuti tiap minggu,’’ paparnya lalu tertawa.
Sejak 2011, paper cutting yang diraciknya mencapai 6 ribu karya. Angka itu terbagi atas dua jenis paper cutting. Yakni, sketsa wajah berjumlah sekitar 1.150, sisanya suvenir untuk perusahaan. Ada dua proses yang dilakukan saat paper cutting. Pertama, mendesain di komputer dari apa yang diinginkan pemesan. Kedua, memberikan desain tersebut kepada pemesan. ’’Minta persetujuan. Apa begini? Setelah disetujui, baru dipotong cutter biasa,’’ paparnya.
Setiap karya yang dibuat disematkan nomor seri. Hal tersebut mempermudah Dewi mengingat berapa karya yang telah dibuat. ’’Paper cutting di mata masyarakat lebih dikenal yang hadiah dengan sketsa wajah, pakai kertas, lalu dibentuk,’’ terangnya. Sejak nomor seri 1 hingga 300, Dewi membabat sendiri karyanya. Nah, setelah nomor seri 300, dia mengibarkan bendera putih. Dia tak sanggup bekerja sendiri. Pada 2011 hingga 2014, Dewi menangani sendiri dunia paper cutting. Mulai terima pesanan hingga mengantar pesanan kepada pemesan. ’’Waktu masih kerja kantoran kan begadang. Pesanan makin membeludak kan, akhirnya dibantu orang,’’ sambungnya.
Wajah beberapa tokoh yang dibuat dari cutteristic-nya, antara lain, Kepala Bekraf Triawan Munaf, CEO Go-Jek Nadiem Makarim, mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, serta Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti. Kertas yang diracik Dewi tidak memiliki spesifik jenis. Semua kertas bisa digunakan untuk papar cutting. ’’Biasanya aku pakai fancy paper karena punya varian warna banyak,’’ tambahnya. Perempuan yang berulang tahun setiap 12 Mei itu membanderol karyanya paling murah sekitar Rp 1 juta dengan ukuran 30 x 30 cm. Harga yang dipatok bergantung ukuran pesanan. Pertumbuhan profit paper cutting miliknya sejak 2011 terus bergeliat. Angka keuntungan menggemuk.
’’Itu kenapa lebih enak fokus pada satu hal,’’ ujarnya. Meski begitu, bukan berarti tidak ada rasa waswas saat memutuskan fokus ke dunia paper cutting. Dia menyebut, pada tahun pertama, 2014, omsetnya belum bisa menyamai gajinya saat masih bekerja di perusahaan swasta. ’’Masih seret, tapi saya terus berlari. Fokus juga,’’ tuturnya.
Dia semakin menajamkan tekad untuk terus menyeriusi dunia yang dipilihnya. Hingga akhirnya, pesanan berdatangan. Jenis karyanya semakin beragam dan memikat konsumen lebih banyak. ’’Aku punya beberapa jenis undangan pernikahan dari paper cutting,’’ ucapnya. Di sketsa wajah yang dipesan, dia biasanya menambahkan kristal. ’’Jadi, lebih banyak varian,’’ katanya.
Selain itu, pada 2015, Dewi merambah ke platform digital penjualan di salah satu marketplace. Dia menjajakan peralatan untuk membuat paper cutting. Mulai cutter hingga kertas kosong. Dalam sebulan, Dewi mengantongi 40–70 pesanan. Angka tersebut tidak termasuk ekspansi bisnisnya di marketplace. ’’Di marketplace, seru kok profit,’’ imbuhnya.
Ukuran karya Dewi tidak sembarangan. Dia pernah membuat karya berukuran 2 x 1 meter. Semuanya kerjakan sendiri. Tidak ada yang membantu. Dari pemesanan tersebut, dia membanderol hingga Rp 30 juta. ’’Pengerjaan tiga bulan. Lukisan perjamuan Yesus dan muridnya,’’ jelasnya.
Menurut dia, keasyikan paper cutting berada pada kerumitan. Semakin rumit karya yang dibuat, sengatan tantangan semakin memuncak. ’’Kalau ada pesanan yang mudah gitu, aku tanya, nggak mau yang rumit? Kalau mudah begini, nggak ada tantangan,’’ paparnya.
Dunia paper cutting seolah meracuni darahnya. Hal itu diwujudkan secara nyata dengan mendesain dekorasi ruangan pernikahannya dengan Jeffry. Keputusan tersebut mengantarkan Dewi dan sang suami menorehkan tinta emas di Muri. Yakni, tercatat sebagai pernikahan dengan menggunakan kertas terbanyak. Bangga, jelas. Senang, sudah pasti. ’’Jadi, Juli lalu, ada klien aku yang bekerja di Muri dan pernah pesan paper cutting nanyain aku mau nikah. Pakai kertas gitu? Iya, pakai, saya bilang. Klien aku itu ngomong, sekalian aja di catat di rekor Muri,’’ paparnya menceritakan obrolan dengan kliennya. Sebelumnya, dia merasa minder. Namun, ternyata, pernikahannya benar-benar diganjar dengan rekor Muri. (*/co5/fai)